BELAJAR DARI PENGELAMAN KEHIDUPAN


BELAJAR DARI PENGELAMAN KEHIDUPAN
Sebuah Catatan Harian

 “Wooo... apaan itu? Sepertinya enak banget ya? Tulis Bu Nandita menanggapi postingan Bu Marina di grup WA mereka. “Ini surabi, makanan khas di daerahku, Solo, jawab Bu Marina menjelaskan. “Surabi Notosuman...”, lanjut Bu Dahlia dari Jogjakarta. Aku kalau lewat Solo pasti mampir tuk beli surabi itu, enak banget, meski harus ngantre lama. “Di Mojokerto ada yang nemanya serabi, terbuat dari tepung beras makannya disiram dengan santan. Jadi rasanya gurih dan manis,” sambung Pak Yono . “ya, Pak, dimakannya pas hangat-hangat, waoooo... nikmat...,”ujar Bu Ratna.“Kalau di daerahku ada jajanan yang terbuat dari tepung beras, atasnya diberi aneka toping ada yang manis dan ada yang gurih, namannya juga Surabi, apa sama ya?” ujar Lilis. “Bu Lilis dari mana ya?” tanya Tina. “Saya dari Lembang, Jawa Barat Bu,” jawab Bu Lilis ramah. Yaa... begitulah... jika sudah melihat postngan makanan langsung grup WA ramai. Mereka asyik membicarakan jenis jajanan yang bernama surabi di daerah masing-masing. Perbincangan ringan sebagai pengisi waktu dan hiburan di saat menunggu tutor memberikan materi daring. Candaan yang hanya sekedar tuk mengakrabkan peserta daring yang hampir berasal dari seluruh pelosok nusantara.
“Kalau di Bandung, ada cave yang menjual surabi, yang dinamai “surabi imud”. namanya sangat terkenal lho,” ujar Bu Ratna. “Surabi yang disajikan hangat-hangat, di atasnya diberikan aneka toping pilihan pembeli, wah... sangat disayangkan untuk dilewatkan,” ujar Bu Ratna memnjelaskan. “Lho Bu Ratna kok tahu surabi imud?” tanya Bu Bu Lilis. “Kebetulan anak saya tinggal di Bandung Bu Lilis, jadi saya yang asli Surabaya sering mengunjungi cucu saya di Bandung”. “Wah... sering ke Bandung ya Bu, mampir dong Bu ke rumah saya!’ ajak Bu Lilis dengan ramahnya.
“Andai kita bisa ketemuan, belajar sambil makan surabi imud di cave itu, wah... pasti pulangnya jadi beberapa buku,” canda Bu Ratna yang disambut dengan kata setuju peserta yang lain. “Kalau ba’dha maghrib, di cave itu ada live music sehingga kita makan surabi sambil belajar menulis dan mendengarkan live musik, pasti menyenangkan. Ayo kita ajak pelatih dan admin kita,” canda Bu Ratna.    
“Yang sopan ya kalau bicara! Ini WA pendidikan! Siapapun Anda!” ujar satu di antara admin grup. Bergetar jantung Bu Ratna membaca kalimat yang bernada sangat menyakitkan itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya ternganga kaget. Diusianya yang menginjak 55 tahun, baru pertama kali ia mendengar ada seorang yang mengatainya “yang sopan”. Selama ini, Bu Ratna selalu menjaga kesopanan perilaku dan tutur katanya, di rumah atau pun dilingkungannya. Bu Ratna sadar akan profisinya sebagai seorang pendidik yang selalu menjadi panutan anak didiknya. Apalagi usianya yang sudah tidak mudah lagi, dia selalu berusa memberi tauladan kepada anak dan cucunya.
Dengan tangan gemetar, Bu Ratna menyekrol HP ke atas. Satu persatu kalimat dibacanya kembali. Namun ia belum menemukan kata atau kalimat yang bernada tidak sopan. “Astaughfirllahuladzim... maaf Bu, kalimat saya yang mana ya yang digolongkan tidak sopan?” tulis Bu Ratna. “Lha itu, cave itu kan tidak sopan?  Habis Maghrib kok ke cave mendengarkan live musik, ya ngaji,” ujar admin sengit. “Memang kenapa dengan kata-kata “cave”? Apanya yang salah? Habis maghrib itu kan maknanya banyak, bisa setelah sholat, ngaji, terus berangkat, atau bisa usai sholat isya’. Lagian ngaji atau beribadah kan tidak perlu dipamerkan? Jawab Bu Ratna mulai emosi.
“Di kampung saya kata “cave” bermakna negatif”, ujar admin.
“Cave itu sama dengan rumah makan atau restoran. Kalau di Bandung, rata-rata rumah makan menyajikan live musik untuk menghibur pengunjung, gak lebih. Terus mananya yang tidak sopan? Saya tahu diri kok, saya sudah tua, saya guru, makanya saya selalu menjaga kesopanan tutur kata dan etika saya. Seumur hidup baru satu kali ini ada orang yang mengatakan saya tidak sopan,” jawab Bu Ratna tersinggung dengan penilaian admin.
“Ya Bu, maaf... saya salah,” tulis admin.
Belum sempat Bu Ratna membaca tulisan di grup itu, hp nya bergetar. WA dari nomor tak bernama. Dengan raut muka merah padam dan tangan masih gemetar, ia membaca isi WA itu. “Ibu saya mohon maaf, saya tidak bermaksud menyakiti hati ibu. Tolong maafkan saya, karena dalam keluarga kami khusus nya kata cafe itu sangat kurang baik. Maf Bu,” ujar admin.
 “Sy tdk tahu bagaimana adat di keluarga panj. Insyaallah yang sy tahu, cafe = restoran = rmh mkn. Gak ada yg negatif.  Sy tersinggung dengan kata “yg sopan” yang panjenengan tulis untuk saya di grup dan dibaca oleh seluruh anggota grup. Sy ini sudah tua, sy sadar itu, makanya selalu menjaga tutur kata dan etika saya. Apalagi saya juga guru seperti panjenengan, jd panutàn murid-murid saya,” jelas Bu Ratna.
 “Ya Bu saya minta maaf,” ujar admin menegaskan.
“Ya Bu, gak apa, saya maafkan. Sy sangat shok karena baru satu kali ini ada orang yang mengatakan sy tidak sopan,” ujar Bu Ratna. “terimakasih Bu telah memafkan saya”, ujar admin.
Meski hati Bu Ratna masih belum bisa menerima, dadanya masih sesak namun ada rasa sedikt lega, karena dia tidak termasuk orang yang tidak tahu sopan. Tiba-tiba Bu Ratna menengadakan tangannya, bermunajat kepada Allah, “Alahamdulillah Yaallah... semoga peristiwa ini menjadi hikmah untuk hambah-Mu, agar hambah lebih bisa menjaga lisan hambah, agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertutur yang tidak menyakiti orang lain. Karena hambah merasakan ucapan yang sudah terlanjur keluar dari bibir, tidak akan dapat dihapus, aamien... .” bisik lirih Bu Ratna sambil meneteskan air mata.     
                                                                                                                                    (Vie, 7 Juni 2020)

Tag : .OPINI
Back To Top