SANG GURU

  SANG GURU
(Belajar Kalimat dari Pengalaman Langsung)

                                                  

Oleh
Dra. I. Mufidah, M.Pd

Hemmmmm.... harum..... teriak satu di antara temanku. Dapat dipastikan siapa yang berada di balik pintu kelas ku. Tak lama kemudian, pintu ruang kelas kimia 1 pun terbuka, masuklah seseorang yang kami tunggu-tunggu. Senyum ramah yang senantiasa menghiasi bibirnya, tatapan mata bersahabat, dan penampilan yang enak dipandang mata membuat kami nyaman belajar bersama beliau.
“Assalam mualaikum, apa kabar dunia”? sapanya dengan ramah, sambil melangkahkan kakinya ke dalam ruang kelas.  Serentak kami pun menjawab “Wailukum salam, Alhamdulillah, luar biasa... “. Itulah ciri khas Bu Diana, guru bahasa Indonesia kami yang selalu tampil dengan gayanya yang modis, ceria, bersahabat dan selalu ramah pada siapa pun.
Usai meletakkan buku-bunya di meja guru, beliau berdiri di tengah kelas. Matanya melihat sekeliling kelas, seakan menghitung jumlah siswa yang hadir. Kemudian beliau berkata, “Masuk semua ya Nak”? serempak kami pun menjawab, Ya Bu, nihil”. “Hebat kelas XII Mia 1 memang keren...,” lanjutnya tersenyum bangga dan sambil mengacungkan ibu jarinya pada kami. Wajah seisi ruang kelas berseri, menerima pujian Ibu Diana.
“Nak tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan kalimat?” tanya ibu Diana kepada kami, tetap dengan nada suara yang ramah. “Gabungan beberapa kata,”  Ujar Ulum dengan percaya diri. Sejenak tatap mata Bu Diana mengarah pada Ulum yang duduk di bangku ke 4 deret 3. Pandang mata kami terarah pada Bu Diana. Wajah Bu Diana sangat berubah, ekspresi wajahnya tidak lagi ramah, senyumnya tidak lagi menghiasi bibirnya, bahkan ada gurutan ketegangan di wajahnya. Kami terdiam, tidak dapat menduga apa yang terjadi.
Dengan mimik yang serius dan suara tegas, Bu Diana berkata “Keluar”! Serentak seluruh siswa di dalam kelas terdiam, sepi, tidak satu pun siswa yang berani bersuara. Ulum berdiri ragu-ragu, terlihat kebingungan di wajahnya. Tatap mata Bu Diana tajam, tangannya menunjuk ke arah pintu. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Ulum berjalan menuju pintu, tangannya memegang hendle pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bu Diana “Stop!” Tangan Ulum melepas handle pintu, tubuhnya berbalik ke arah kelas. Ulum berdiri di depan pintu.
Bu Diana berjalan mendekati meja Ana yang duduk di bangku pertama deret kedua. “Ana, nurut kamu apa yang dimaksud dengan kalimat”? tanya Bu Diana dengan suaranya yang kali ini terdengar sangat datar. “Kalimat adalah kelompok kata yang terdiri dari subjek, predikat, ojek, dan lain-lain,” jawab Ana dengan suara ragu-ragu. “Keluar”! seru Bu Diana sambil tangannya menunjuk ke arah pintu. Serentak wajah Ana terlihat merah, matanya pun memerah. Ana berdiri lemas, kakinya enggan melangkah. Ana berdiri di sebelah Ulum, wajahnya tertunduk sedih.
Wajah seluruh siswa menegang. Suasana kelas semakin sunyi. “Iwan tolong tuliskan di papan tulis, hal yang ibu katakan sehingga kedua temanmu berdiri di depan pintu,” perintah Bu Diana pada Iwan yang duduk di bangku paling belakang deret keempat. Iwan berdiri agak ragu, kakinya melangkah ke arah papan tulis. Tangannya mulai menulis.
“Keluar”!
“Stop”!
Iwan terdiam menunggu respon Bu Diana. Wajahnya tertunduk lesu. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dalam hati, Iwan bersiap mendapat hukuman seperti yang dialami Ulum dan Ana.
“Bagus”!
“Bagus Iwan”, ujar Bu Diana dengan suara khasnya yang ramah, dan bibirnya tersenyum kembali. Iwan yang sedari tadi terlihat pasrah, wajahnya berubah ceriah. “Alhamdulillah ... seru Iwan ditengah kebahagiaannya. Tanpa dikomando lagi, suasana kelas mulai mencair. Wajah-wajah siswa tak lagi setegang tadi.
Bu Diana menengok ke arah Ulum dan Ana, dengan kalimatnya yang ramah, beliau berkata “Ulum, Ana, mengapa kamu tadi berdiri dari bangkumu kemudian berjalan ke arah pintu dan berhenti di depan pintu itu”? tanya Bu Diana dengan senyumnya yang menawan.
“Tadikan ibu menyuruh saya keluar,” kata Ulum masih sedikit tegang. “Tadi Ibu menyuruh Ulum Kaluar, begitu ya? Bagus... bagus Ulum”. Kata Bu Diana mengaskan kalimat Ulum. “Kalau kamu Ana, bagaimana?  Mengapa Ana tadi berdiri dari bangku kemudian berjalan ke arah pintu dan berhenti di depan pintu itu”? tanya Bu Diana dengan ramah. Wajah Ana yang sedari tadi tegang, semakin menegang. Ana tidak dapat menjawab pertanyaan Bu Diana, bibir bawahnya digigitnya seakan ia sedang mencari kekuatan diri agar tidak menangis. Semua mata siswa menatap ke arah Ana, seakan ingin memberikan dukungan pada Ana.
“Ana... , Ibu menunggu jawaban Ana,” ujar Bu Diana penuh kasih. “Tadi kan ibu menyuruh saya keluar, jadi ya saya berdiri dan berjalan ke luar,” jawab Ana terbata-bata. “Bagus Ana, bagus sekali,” ujar Bu Diana membenarkan jawaban Ana.
“Bagaimana pendapat kalian tentang jawaban Ulum dan Ana?“ tanya Bu Diana pada seluruh siswa. “Ya Bu, ketika Ulum dan Ana menjawab pertanyaan Ibu, Ibu menyuh Ulum dan Ana keluar,” Ujar Dedy dengan tegas yang dibenarkan oleh suara-suara teman sekelasnya.
“Baik, baik...,” ujar Bu Diana tetap dengan senyum khas nya. “Nak, menurut kalian Apa yang mengidentifikasi ibu menyuruh Ulum dan Ana keluar”? tanya Bu Diana kembali pada siswa seluruh kelas.
“Kalimat ibu yang mengatakan “keluar” pada Ulum dan Diana, itu kan berarti kalimat perintah yang menyuruh Ulum dan Diana untuk keluar,” Ujar Devinta menegaskan yang disambut dengan acungan kedua ibu jari Bu Diana. Terlihat wajah-wajah ceriah di kelas XII Kimia 1 mulai bermunculan.
“Kalimat ibu yang mengatakan “keluar”, benar begitu Devinta?” tanya Bu Diana pada Devinta yang dijawab dengan anggukan kepala yang penuh keyakinan. “Berarti menurut kalian “Keluar!” itu adalah kalimat?” benar gak ya?
Terlihat para siswa mulai kasak kusuk berdiskusi dengan teman sebangkunya. Suara kelas mulai hidup, agak bising dengan suara-suara siswa yang mempertahankan pendapatnya. Bu Diana tersenyum melihat keaktivan kelas. Bu Diana sengaja memberikan kesempatan pada siswa untuk berdiskusi.
Selang lima menit berlalu, Bu Diana bertanya kembali pada siswa-siswa, “Bagaimana Nak, menurut kalian “Keluar”! yang tadi ibu ucapkan apakah benar, itu sudah termasuk kalimat”?
“Ya Bu, itu sudah termasuk kalimat, kalimat perintah”. Jawab Nurdin yang dari tadi terlihat sangat aktif berdiskusi. 
“Benar juga sih Bu, itu adalah kalimat, tapi kok hanya satu kata ya Bu? Biasanya kalimat kan terdiri atas beberapa kata”? Ujar Delia, yang sedari tadi terlihat sangat serius.
“Menurut saya, “Keluar!” yang diucapkan Bu Diana tadi adalah kalimat, karena meski pun hanya terdiri atas satu kata, tetapi mampu membuat orang yang diperintah “Ulum dan Ana” berdiri dan mengikuti perintah itu”, ujar Maria berargumen.
“Baiklah anak-anak, untuk menjawab rasa ingin tahu kalian, mari permasalahan “Keluar”! kita jadikan sebagai bahan diskusi materi pelajaran kita hari ini. Hari ini kita akan membahas tentang kalimat. Setelah mempelajari materi kalimat diharapkan Anda dapat menambah pengetahuan Anda  tentang jenis-jenis kalimat dan unsur pembangun kalimat”, Ujar Bu Diana. “Namun sebelumnya, silahkan Ulum dan Ana kembali duduk dibangku kalian. Tugas kalian telah selesai”, lanjut Bu Diana diiringi dengan senyum ramah nya.
“Lho kok tugas Bu”, sela Ulum penuh kebingan. “Bukannya saya dan Ana dihukum karena salah menjawab’? protes Ulum dengan rasa ingin tahu.
“Ulum, Diana, benarkah hanya karena kalian menjawab dengan jawaban yang kurang tepat, ibu tega menghukum kalian”? tanya Bu Diana ramah, sambil menatap Ulum dan Ana. Di bibirnya tersungging senyum ramah khas Bu Diana. “Jika ibu menghukum siswa hanya karena siswa itu salah menjawab pertanyaan ibu, ibu yakin di setiap pembelajaran Bahasa Indonesia kelas ini akan sepi, seperti kuburan, karena kalian takut berpendapat. Benar tidak, Nak?”, kata Bu Diana ramah, memberi penjelasan pada kami.   
“Oooo... berarti tadi itu drama ya Bu?” celetuk Tigor dari belakang yang diikuti suara tawa seisi kelas. Terpancar wajah-wajah bahagia dari penjuru kelas.
“Ayo artis kita pagi ini, Ulum dan Ana silahkan kembali ke tempat duduk”! perintah Bu Diana ramah pada Ulum dan Ana, yang diikuti tepuk tangan gembira seluruh kelas. Wajah Ulum ceria, bibirnya tersenyum lega. Sebaliknya Ana, langsung berlari menubruk Bu Diana, tangannya erat memeluk Bu Diana. Dari matanya keluar air bening yang menetes di pipinya.
“Ana... tadi kan bercanda? Kenapa pakai menangis?  Ujar Bu Diana sambil memeluk Ana dan menenangkannya. Tangan kanannya membelai rambut Ana. Ana tersenyum, menganggukkan kepala. “Terima kasih ya Bu Diana, tetapi besok saya gak mau lagi jadi artis seperti ini”, ujar Ana sambil tersenyum yang disambut tawa teman-teman sekelas.
“Ok, Ana silahkan duduk, Anak-anak mari kita mulai mendiskusikan pembelajaran hari ini”, kata Bu Diana bernada serius. “Silahkan, barangkali ada pertanyaan atau pendapat kalian tentang pengalaman yang baru Anda dapatkan tadi”, kata Bu Diana membuka pelajaran. Terlihat beberapa siswa langsung mengacungkan tangannya. Wajah Bu Diana berseri, senang, karena terlihat siswa-siswanya sangat antusias dalam pembelajaran kali ini.
“Silahkan Pandu, ungkapkan pendapat Anda”! kata Bu Diana mempersilahkan Pandu yang terlihat sangat berantusias.
“Terima kasih Bu Diana”, ujar Pandu dengan tegas memulai kalimatnya. “Saya sangat setuju jika “Keluar!” yang tadi Ibu ucapkan kepada Ana dan Ulum, dikatagorikan sebagai kalimat. Buktinya meski pun hanya berasal dari satu kata “Keluar!” tetapi sudah memiliki makna menyuruh Ana dan Ulum keluar. “Jadi menurut saya, yang disebut kalimat itu adalah kata atau kumpulan kata yang memiliki makna”, tegas Pandu.
“Terima kasih Pandu, jawabanmu bagus sekali,” ujar Bu Diana memuji Pandu. “Bagaimana yang lainnya, setujukah kalian dengan jawaban Pandu? Atau ada yang ingin mengritik jawaban Pandu”, tanya Bu Diana.
Saya Bu, ujar Ditya sambil mengacunkan tangannya, “Menurut saya, selain memiliki makna, kalimat selalu diawali dengan penggunaan huruf kapital dan diakhiri intonasi final”. Beberapa siswa membenarkan jawaban Ditya.
“Nah kalau begitu apa yang dimaksud dengan kalimat”? ulang Bu Diana seakan menggiring siswa untuk menyimpulkan pendapatnya tentang kalimat. “Kalimat adalah   kesatuan ujaran yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan serta berintonasi final”. Sehingga ketika ibu mengatakan “Keluar”! disertai dengan intonasi yang bermakna memerintah maka Ulum dan Ana berdiri untuk keluar dari ruang kelas. Begitu juga ketika ibu mengatakan “Stop!” maka kedua teman kalian tadi tidak meneruskan perjalanannya. Itu artinya bahwa yang ibu ucapkan tadi, meskipun hanya terdiri atas satu kata namun sudah mampu mengungkapkan gagasan yang ada di pikiran ibu dan gagasan itu dapat dimengerti oleh teman kalian”, jelas Bu Diana yang disambut dengan senyum kebahagiaan seluruh kelas karena hari ini dapat belajar kalimat secara langsung.
“Keluar”!, “Stop!” yang ibu ucapkan tadi dikatagorikan sebagai kalimat elips. Kalimat elips adalah kalimat yang menghilangkan sebagian kata-kata dari suatu kalimat dengan tujuan agar kalimat tersebut lebih pendek dan susunannya lebih baik. Meskipun beberapa bagian kata dalam kalimat dihilangkan, akan tetapi tidak merubah makna kalimat tersebut. Sebagai contoh jika kalian ingin memanggil penjual bakso keliling, maka kalian tidak akan menggunakan kalimat lengkap seperti “Wahai Bapak penjual bakso, tolong datang kemari, saya akan membeli ... ,“ jelas Bu Diana memberi contoh yang disambut dengan tawa para siswa. “Pada saat kalian memanggil penjual bakso, pasti kalian hanya meneriakkan “Bakso”!, Ujar Bu Diana kembali. “Benar Bu, Benar”, sahut beberapa siswa masih dengan tertawa. “Nah kalimat itulah yang disebut dengan kalimat elips.
“Berdasarkan uraian ibu tadi, menurut kalian ciri-ciri kalimat itu apa”? tanya Bu Diana lebih lanjut. Serentak siswa menjawab ; berintonasi akhir, mengandung satu kesatuan makna, urutannya logis, jika kalimat itu dalam bentuk tulis, selalu diawali dengan huruf kapital”.
“Bagus benar sekali jawaban kalian”, ujar Bu Diana sambil mengacungkan kedua ibu jarinya pada seluruh siswa. “Alhamdulillah...”, teriak beberapa siawa lega. “Hari ini kami mendapat sesuatu yang baru ya Bu, belajar dari pengalaman”,  lanjutnya bersemangat.
Tag : .OPINI
Back To Top